Minggu, 12 Juni 2011

PERIODISASI KONFLIK DI DAERAH POSO-MOROWALI

Gangguan keamanan di wilayah yang di akhir 1998 masih termasuk satu kabupaten (Poso) ini, sesungguhnya harus dibagi dalam tiga periode, yang ditandai oleh jenis gangguan keamanan yang tidak seluruhnya sama. Periode pertama, antara pecahnya kerusuhan di kota Poso tanggal 28 Desember 1998 s/d ‘gencatan senjata’ melalui pertemuan di Malino, Sulawesi Selatan, tanggal 20 Desember 2001. Periode kedua adalah periode pasca Pertemuan Malino s/d gelombang penyerangan terhadap Desa Beteleme di Kabupaten Morowali dan tiga desa di Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso antara tanggal 10 dan 12 Oktober 2003. Sedangkan periode ketiga, pasca penyerangan terhadap Desa Beteleme sampai saat makalah ini ditulis.
1.Periode I: 25-28 Desember 1998 s/d Pertemuan Malino, 20- 21 Desember 2001:
Konflik antar komunitas ini sering diberi label sederhana, yakni “konflik agama”, dengan mengacu pada satu karakteristik dari komunitas-komunitas yang bertikai. Memang, pada awalnya konflik ini tercetus oleh perkelahian di antara dua orang pemuda yang berbeda agama, kemudian berkembang menjadi perkelahian di antara komunitas kampung-kampung Muslim dan Kristen, di mana selama gelombang kerusuhan pertama (Desember 1998) dan kedua (April 1998), terutama kelurahan-kelurahan Kristen di kota Poso menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran, dibarengi dengan gelombang pengungsian penduduk Kristen dari kota Poso ke kota-kota Tentena (di Kabupaten Poso sebelah selatan), Palu, dan Bitung serta Manado (Sulawesi Utara).Dalam saling menyerang antara komunitas Kristen dan Muslim di kota Poso itu, masing-masing fihak didukung oleh massa seiman dari luar kota Poso. Komunitas Muslim dibantu oleh orang-orang Tojo dari daerah Ampana (sebelah timur kota Poso; sekarang jadi ibukota Kabupaten Tojo Una-una) dan Parigi (Kabupaten Parigi Moutong, sebelah barat kabupaten Poso). Sementara komunitas Kristen dibantu oleh orang-orang Lage dari Desa-Desa Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage (sebelah tenggara kota Poso). Selanjutnya, sejak bulan Mei 2000 mulai berlangsung serangan-serangan balasan dari milisi Kristen yang terbentuk dari kalangan pengungsi Kristen di Tentena, yang terutama dipimpin oleh tokoh-tokoh yang berasal dari kelompok Ondae di Kecamatan Pamona Timur. Kelompok sub-etnis Pamona ini adalah yang paling akhir memeluk agama Kristen, dan masih punya budaya perang – dan mengayau – yang baru satu generasi tertekan ke bawah permukaan.Serangan balasan milisi pimpinan tokoh-tokoh masyarakat Ondae ini dibantu oleh relawan dari Lembah Napu (Kecamatan Lore Utara), yang tersinggung oleh pelanggaran adat yang dilakukan oleh orang-orang Parigi yang melintasi wilayah kekuasaan orang Napu di Poso Pesisir ketika membantu serangan komunitas Muslim di kota Poso. Selain itu, ada juga dukun-dukun dari suku Da’a (Kabupaten Donggala, Sulteng) dan Toraja (Sulsel) yang ikut membantu milisi Ondae dan Napu, termotivasi oleh semangat ‘membantu saudara seiman’, sama seperti motivasi orang Tojo dan Parigi membantu komunitas Muslim di kota Poso.
Ternyata, serangan balasan milisi-milisi suku-suku asli yang dominan Kristen ke kota Poso, kecamatan Lage dan kecamatan Poso Pesisir, yang semula dimaksudkan hanya untuk menangkap para provokator kerusuhan Poso gelombang I dan II, berkembang menjadi penghancuran kampung-kampung yang mayoritas berpenduduk Muslim di Kecamatan Lage dan Poso Pesisir. Ini terjadi setelah gugurnya Ir. Adven Lateka, pejabat asal Ondae yang memimpin serangan pertama yang gagal menangkap dan menculik para provokator, dan setelah kelompok-kelompok milisi penduduk asli yang mulai bermunculan secara spontan mendapat pengarahan dari seorang pensiunan militer asal Toraja, Tungkanan.
bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar