Selasa, 28 Juni 2011

Tugu Sudjono, Simbol Revolusioner yang terlupakan


Mereka yang pernah belajar sejarah G30S/PKI ketika duduk di bangku SMA, saat pemerintahan orde baru, pasti pernah tahu nama Letda (Anumerta) Sudjono. Sosok ini tercatat sebagai salah satu pahlawan revolusioner yang menjadi korban keganasan pertikaian berdarah bangsa ini di tahun 1965.
Mereka yang pernah belajar sejarah G30S/PKI ketika duduk di bangku SMA, saat pemerintahan orde baru, pasti pernah tahu nama Letda (Anumerta) Sudjono. Sosok ini tercatat sebagai salah satu pahlawan revolusioner yang menjadi korban keganasan pertikaian berdarah bangsa ini di tahun 1965. Perkebunan Bandar Betsy di Kec. Bandar Perhuluan, Kabupaten Simalungun, pun menjadi demikian terkenal, sebagai lokasi peristiwa berdarah yang merenggut nyawa perwira pengaman kebun itu.

Letda Sudjono yang kala itu berpangkat Peltu, berdasarkan teks resmi kala itu, tewas dikampak sekelompok orang dari Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan onderbouw PKI. Saat itu, Sudjono berusaha mempertahankan lahan perkebunan dari penjarahan massa PKI. Peristiwa yang dikenal dengan "Peristiwa Bandar Betsy" merupakan aksi sepihak PKI dan onderbouwnya untuk merebut kekuasaan yang sah.

Aksi-aksi sepihak PKI dan organ-organ resminya, mencapai klimaks pada tanggal 30 September 1965 dalam bentuk kudeta berdarah. Tujuh jenderal TNI-AD di Jakarta dan beberapa lainnya di berbagai daerah menjadi korban keganasan PKI. Sejumlah sejarahwan menyingkap pertikaian sesama anak bangsa itu memakan korban tak kurang dari 300 ribu nyawa di seluruh negeri. Belakangan, pemerintah Orde Baru menobatkan para jenderal korban PKI itu sebagai 'Pahlawan Revolusi.'

Sebagai kenangan kepada generasi mendatang, tugu peringatan para pahlawan revolusi itu didirikan dengan biaya yang tak kecil. Satu di antaranya adalah 'Tugu Sudjono.' Melihat keberadaan monumen itu, Senin (13/8), diperkirakan miliaran rupiah uang negara mengucur, saat proses pembangunan berlangsung. Terletak di lahan yang luasnya diperkirakan 0,5 Ha, tugu Sudjono di awal pembangunannya terasa begitu megah.

Model bangunan Tugu Sudjono sama dengan Monumen Tugu Tujuh Pahlawan Revolusi di Komplek Lubang Buaya, Jakarta. Bedanya, agak ke depan dari monumen itu ada patung Letda Sudjono, seolah memimpin ke tujuh jenderal itu. Harus diakui, tugu itu menyimpan aura mistis dan kharisma bagi khalayak yang mengunjunginya.

Tapi cerita itu ada di era Orde Baru. Kini, tugu itu bagai monumen tanpa arti sama sekali. Simbol revolusioner rakyat Sumatera Utara itu, seolah kesepian, karena tak lagi, mendapat perhatian. Jalan menuju monumen itu, sejak dari Perkebunan Laras PTPN IV hingga ke lokasi yang diperkirakan berjarak 15 km, sudah tak lagi mulus, karena 2/3 dari panjang jalan, kondisinya kupak-kapik. Terutama di areal Perkebunan Bandar Betsy. Pihak perkebunan terkesan tak peduli dengan kondisi jalan itu.

Di areal Tugu Sudjono, perasaan pun jadi terenyuh, karena monumen itu seakan menangis dengan kondisinya yang tak terurus. Monumen megah itu, terlihat kusam dan beberapa bagiannya sudah dipenuhi lumut. Taman yang mengelilingi tugu itu, berubah menjadi tumbuhan liar yang mengganggu pemandangan. Sementara ilalang menyeruak liar di berbagai tempat, dengan ketinggian hampir sepinggang.

Kamar mandi yang berada persis di depan tugu, bak rumah hantu. Sedangkan pondok peristirahatan yang dibuat untuk pengunjung resmi maupun biasa, dalam kondisi hendak rubuh. Lantai areal berlapis batu conblok, sebagian sudah menghitam dan di sela-selanya ditumbuhi rerumputan tebal.

Beberapa warga di sekitar lokasi, mengakui sejak beberapa tahun belakangan monumen itu tak lagi dipelihara. Jika sebelumnya banyak pelajar yang mau berkunjung ke monumen itu, kini sudah tak ada lagi. Karena semua fasilitas yang memungkinkan pengunjung untuk berlama-lama di sana tidak tersedia. Tugu Sudjono, saat ini, tak lebih dari bangkai sejarah yang kenangan tentangnya perlahan mulai pupus.

Era Reformasi, ternyata tidak mau berkompromi pada simbol-simbol hegemoni sebelumnya. Karena reformasi juga tengah membangun simbol-simbol hegemoni untuknya. Meski simbol hegemoni itu untuk dua potong kata 'pahlawan revolusi.' Lalu, di usia RI ke-62, adakah istilah lain yang tengah dibangun rezim reformasi sekarang ini? Sejarah kelak akan mencatatnya.

Senin, 20 Juni 2011

next 2...PERIODISASI KONFLIK DI DAERAH POSO-MOROWALI




Dalam suasana panas beginilah, Bendahara Majelis Sinode GKST, Oranye Tadjodja (58), dibunuh setelah disiksa di bangunan bekas Hotel Kartika di tepi Jalan Raya Trans Sulawesi di Kelurahan Kayamanya pada hari Sabtu siang, 15 November 2003. Ketua DPC Partai Damai Sejahtera (PDS) Kabupaten Poso itu dibunuh bersama Yohannes (“Butje”) Tadjodja, keponakan yang juga jadi sopirnya waktu itu, yang lehernya hampir putus ditebas. Nampaknya untuk mengalihkan jejak, kelompok pembunuhnya melarikan mobil Toyota Kijang DN 440 E milik almarhum bersama jenazah kedua korban ke Kecamatan Poso Pesisir dan meninggalkannya di lembah Sungai Puna. Dengan demikian, bisa timbul kesan bahwa tokoh Kristen itu dibunuh oleh massa Muslim di Poso Pesisir yang sedang marah akibat ditembaknya seorang warga mereka, Hamid alias Ami, oleh satuan Brimob yang datang menangkap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam penyerangan di Poso Pesisir tanggal 12 Oktober 2003 (RKP News, 16 Nov. 2003; Suara Pembaruan, Bernas & Manado Post, 17 Nov. 2003; sumber-sumber lain). Dugaan itu masuk akal, lantaran semangat baku balas dendam sedang menggelora kembali. Ribuan warga Muslim yang berdemonstrasi di depan Markas Polres Poso pada hari Minggu, 16 November, memprotes penembakan Hamid dan menuntut pembebasan dua orang kawannya, Irwan bin Rais dan Sukri. Mereka melampiaskan kemarahan mereka kepada Deny Lingkuwa (22), seorang warga Desa Wawopada, Kabupaten Morowali yang baru saja lulus dari testing calon pegawai negeri sipil di Departemen Agama Poso. Pemuda malang berambut cepak itu tewas dianiaya massa yang keliru menyangka dia intel polisi. Motor Yamaha Shogun yang korban kendarai hangus dibakar massa. Begitu pula sebuah motor sumbangan Menko Kesra Jusuf Kalla yang diparkir di depan Markas Kompi IV Pelopor Brimob Polda Sulteng di Kelurahan Mo-engko di pinggiran barat kota Poso (RKP News, 16 Nov. 2003; Radar Sulteng, 16 Nov. 2003; Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Komentar & Manado Post, 17 Nov. 2003; sumber-sumber lain). Sementara itu, dua bentuk teror, yakni bom dan penembakan misterius, terus terjadi. Sebuah bom juga meletus di daerah Lembomawo ketika umat Kristen di sana sedang menyiapkan diri untuk merayakan Natal, 25 Desember lalu. Untunglah tidak sampai ada korban. Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah bahwa gangguan-gangguan keamanan itu tidak sampai membakar kembali semangat baku serang di antara kedua komunitas agama, yang sesungguhnya mewakili masyarakat asli dan masyarakat pendatang, atau mewakili yang tersisih dan yang menjadi kelompok dominan di bidang politik, ekonomi dan budaya.

Minggu, 19 Juni 2011

"SUKATENDEL nari "



sukatendel,merupakan nama daerah di wilayah Tanah Karo Simalem.desa sukatendel tidak terlalu jauh dari kota Kaban Jahe,kira-kira lebih-kurang 2-3 jam dari Kabanjahe (tergantung keadaan di per jalanan).

sama seperti daerah lainnya,kegiatan sehari-hari para penduduk ialah bertani.
jenis nya bermacam-macam;jeruk,tomat,cabai, terkadang jg di temui padi (baik padi sawah ataupun padi darat).
penduduknya ramah dan baik.banyak wisatawan yang singgah apabila memasuki wilayah tanah Karo.seperti biasanya,keindahan alam adalah tujuan utama para wisatawan.
penasara??????


datang dan buktikan!!!!
kami,penerus sukatendel akan menyambut kalian semua dengan baik...
lain kali kita akan membahasnya lebih jauh...
ok kawan,teman,sahabat,pacar,saudara-saudari...

salam,
Yossi Leo Perangin-angin sukatendel

Sabtu, 18 Juni 2011

STRUKTUR DAN PERUBAHAN EKONOMI

Ilmu ekonomi merupakan suatu ilmu yang mempelajari suatu fungsi di dalam suatu subsistem atau di dalam masyarakat yang meliputi aktifitas produksi, distribusi dan jasa. Ekonomi merupakan induk system dari beberapa subsistem lainnya, dimana subsistem tersebut memiliki peranan fungsional daam hubungannya dengan system ekonomi serta system sosial.
Menurut parson dan Smelser ekonomi bersifat adaptif, mempunyai tujuan, terintegrasi dan selalu berusaha mempertahankan polanya.
Glyn dan Sutclite mengatakan bahwa krisis yang terjadi di dalam kapitalisme inggris telah berkembang di karenakan desakan untuk meningkatkan taraf hidup buruh dan pada saat bersamaan inggris harus bersaing dengan Negara-negara kapitalis lainnya. Banyak issue dan problema yang berkaitan dengan sosiologi industry di pahami tidak hanya sebagai suatu masalah konflik atau masalah penyesuain dari suatu individu atau kelompok individu, tetapi juga merupakan suatu problema ekonomi pada tingkatan system.
Perubahan Dalam Struktur Ekonomi.
1. Teknologi
Berbagai penemuan baru, perkembangan teknologi dan perubahan dalam dunia telah mengubah secara radikal karakter industry inggris. Industry-industri dengan teknik baru memberikan kesempatan kerja yang cukup besar. Hal yang juga penting adalah bagaimana meningkatkan metode penerapan teknologi baru.
2. Nilai-Nilai
Nilai yang berlaku biasanya selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar memungkinkan dirinya mampu mengembangkan dan mengendalikan berbagai macam system sosial dan ekonomi dalam suatu masyarakat.
3. Organisasi
Suatu konsekuensi penting dari meningkatnya ukuran organiasi-oganisasi industry adalah meningkatnya kecendrungan monopoli dan oligopolies.
Variasi Dalam Lapangan Kerja Dan Meningkatya Kemakmuran
Secara keseluruhan di dalam periode setelah perang dunia ke II, di karenakan ekspansi ekonomi dan keadaan pasar semakin kuat, posisi tenaga kerja dalam persaingannya dengan para majikan di tunjukkan dengan semakin kuatnya posisi buruh.

Selasa, 14 Juni 2011

next 1...PERIODISASI KONFLIK DI DAERAH POSO-MOROWALI




Tapi jangan keliru, larangan-larangan itu dipegang teguh bukan untuk memperoleh keselamatan di sorga, melainkan untuk memperoleh kemenangan dalam perang. Makanya, Wens Tinagari, satu-satunya anggota milisi yang diketahui melakukan pemerkosaan dalam penyerangan ke kompleks pesantren Walisongo, dieksekusi oleh kawan-kawannya sendiri. Hukuman, yang tentu saja bertentangan dengan ajaran Kristen. Sementara semboyan yang ditanamkan di antara para anggota milisi adalah bahwa mereka berperang untuk merebut kembali tanah adat mereka dari para pendatang yang telah mencemarkan tanah adat mereka. Kelakuan para pendatang dianggap mengingkari Maklumat Raja Talasa Tua, raja Poso yang terakhir, ketika membagi-bagi Poso kepada para pendatang dari luar pada hari Selasa, tanggal 11 Mei 1947. Makanya, paradigma ‘konflik agama’ sudah harus diganti dengan paradigma ketergusuran komunitas-komunitas pribumi Kabupaten Poso. Makalah ini lebih menyoroti komunitas-komunitas pribumi yang beragama Kristen, sebab merekalah yang kini paling tergusur dari pusat-pusat kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya.
2.Periode II: pasca Deklarasi Malino s/d penyerangan terhadap empat desa Kristen di Morowali dan Poso:
Sementara sepuluh butir kesepakatan Deklarasi Malino mulai disosialisasikan, gangguan keamanan di Kabupaten Poso dan Morowali, yang telah dimekarkan dari kabupaten induknya, mulai berubah bentuk. Baku serang di antara kedua komunitas praktis sudah tidak terjadi, dan gangguan keamanan berubah bentuk menjadi teror dari ‘kelompok-kelompok yang tidak teridentifikasi’ terhadap rakyat di kedua kabupaten itu. Dari silih bergantinya sasaran teror tersebut, tampaknya teror itu bertujuan untuk memprovokasi konflik antar komunitas kembali. Namun kenyataannya, kedua komunitas tidak terprovokasi. Ada tiga bentuk teror yang dialami penduduk di kedua kabupaten itu. Bentuk teror pertama yang paling sering terjadi adalah ancaman dan ledakan bom. Bentuk teror yang kedua yang sedikit lebih rendah frekuensinya adalah penembakan oleh penembak profesional yang tidak teridentifikasi jati dirinya (‘penembak misterius’). Sedangkan bentuk teror yang ketiga, yang lebih jarang terjadi adalah serangan kilat oleh perusuh terlatih bersenjata otomatis di saat fajar atau tengah malam, pada saat penduduk sedang terlelap.
3.Periode III: Medio Oktober 2003 sampai sekarang:
Spiral kekerasan tercetus kembali dengan serangan ‘pasukan terlatih bersenjata’ – meminjam istilah rekan saya, Arianto Sangaji – ke Desa Beteleme di Kabupaten Morowali, tanggal 10 Oktober 2003, yang disusul dengan serangan ke tiga desa di Kecamatan Poso Pesisir, dua hari berikutnya. Operasi keamanan gabungan TNI dan Polri yang segera dilansir setelah penyerangan beruntun di Morowali dan Poso itu mendapat sorotan media nasional dan internasional, mengungkapkan bahwa para aktor di lapangan kebanyakan adalah aktivis-aktivis Muslim yang berasal dari daerah Poso, Ampana, dan Morowali sendiri. Celakanya, penyidikan lebih jauh tentang siapa yang mengorganisir mereka, menemukan jalan buntu dengan terbunuhnya tokoh yang dianggap pemimpin penyerangan ke Beteleme, yakni Muhamadong alias Madong. Akibat kecerobohan aparat keamanan gabungan itu, bukan hanya Madong yang tertembak mati, melainkan juga sejumlah aktivis Muslim lain yang berasal dari Poso, Ampana dan Poso Pesisir. Kecerobohan itu dampaknya bagaikan menyiram bensin ke api. Bagaikan mengelu-elukan para pejuang intifada di Palestina, penguburan aktivis-aktivis Muslim yang ditembak mati oleh aparat menjadi ajang mobiliasi semangat jihad baru, tidak hanya jihad melawan komunitas Kristen tapi juga jihad terhadap aparat Polri. Memang, pada saat arak-arakan keliling kota Poso mengantar jenazah Aswan, salah seorang di antara enam tersangka penyerang Desa Beteleme, beredar selebaran berisi lima butir imbauan berjihad. Begitu pula, setelah Hamid tertembak oleh Brimob di Poso Pesisir, jenazahnya juga diarak oleh massa Muslim sebelum dikuburkan di pekuburan Muslim di Kelurahan Lawanga di kota Poso (Kedaulatan Rakyat, 17 Nov. 2003; Manado Post, 17 Nov. 2003; Komentar, 17 & 22 Nov. 2003).

Senin, 13 Juni 2011

next...PERIODISASI KONFLIK DI DAERAH POSO-MOROWALI




Dampak serangan balasan yang paling sering disorot adalah hancurnya kompleks pesantren di Km 9, selatan kota Poso, yang terkenal dengan sebutan Pesantren Walisongo. Peristiwa inilah kemudian di-blow up oleh sejumlah media Islam bergaris keras untuk menjustifikasi deployment lasykar-lasykar mujahidin dari Jawa, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, bahkan Sumatera Utara, membantu lasykar mujahidin lokal pimpinan Ustadz Adnan Arsal, seorang pegawai Departemen Agama Kabupaten Poso asal Sulawesi Selatan. Kebebasan bergerak berbagai kelompok mujahidin dari luar – termasuk yang kemudian diidentifikasi sebagai Jamaah Islamiah — dijamin sepenuhnya oleh sejumlah pejabat pemerintah di Palu (provinsi) dan Poso (kabupaten). Sebelumnya telah beredar petunjuk-petunjuk perakitan senjata api di antara kedua komunitas agama di sana, yang serta merta menumbuhkan industri perakitan senjata di kedua komunitas. Hal ini dibarengi penyebaran amunisi ke kedua komunitas yang berasal dari sumber utama senjata dan amunisi Angkatan Darat, yakni PT Pindad. Namun dukungan yang lebih terbuka, yang sesungguhnya sudah dirintis oleh sejumlah perwira polisi dan tentara sejak pertengahan 2000, lebih banyak dinikmati oleh milisi Muslim, yang walaupun sangat majemuk dan penuh persaingan satu sama lain, seringkali hanya diberi satu label, yakni Lasykar Jihad. Maka sempurnalah eskalasi konflik di antara kedua komunitas menjadi konflik bersenjata api, di mana komunitas Muslim berada di atas angin. Ini terbukti dari kehebatan serangan kilat ke lima desa di Kecamatan Poso Pesisir tanggal 27 s/d 29 November 2001, di mana serangan milisi Muslim mendapat dukungan sejumlah kendaraan dan alat-alat berat milik dinas-dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Poso. Peristriwa ini yang kemudian mengundang tekanan internasional, yang akhirnya mendorong Menko Kesra Yusuf Kalla memprakarsai pertemuan di kota dingin, Malino, 19-20 Desember 2001. Memang, pertemuan di kota dingin itu berhasil memaksakan semacam “gencatan senjata” di antara kedua komunitas yang bertikai. Namun pertemuan itu juga melanggengkan ‘sesat fikir’ dalam melihat akar permasalahan konflik itu. Sebab yang ditekankan dalam pertemuan itu, serta berbagai pertemuan pendahuluannya yang juga dimediasi oleh Jusuf Kalla dan pejabat-pejabat lainnya, hanyalah agama dari para aktor. Bukan faktor-faktor lain, seperti etnisitas dan kelas. Padahal, akar konflik itu, seperti yang akan saya uraikan di bagian-bagian berikut, adalah upaya komunitas-komunitas pribumi Poso – khususnya suku-suku Lore, Pamona, dan Mori – untuk memperjuangkan kedaulatan mereka di kampung halaman mereka sendiri. Kedaulatan yang mereka rasa sudah terancam oleh dominasi para migran dari Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Terutama setelah pembangunan jalan raya Trans-Sulawesi mempermudah arus migrasi dari Selatan ke Kabupaten Poso yang kaya dengan berbagai sumber daya alam. Perlawanan komunitas-komunitas pribumi Poso sejak kerusuhan gelombang ketiga, juga lebih bercorak etnis ketimbang Kristen. Baik ritus-ritus yang dijalankan untuk menyiapkan penyerangan – seperti ritus dimandikan oleh orang-orang tua yang dipandang punya kekuatan magis, untuk mendapatkan kekebalan — sampai dengan pantangan menyembelih hewan piaraan di kampung, selama milisi pergi menyerang, bukan digali dari tradisi Kristen, tapi lebih banyak dari tradisi-tradisi Pamona pra-Kristen. Memang, ada kepercayaan yang dipegang teguh oleh milisi-milisi penduduk asli yang sejalan dengan ajaran Kristen, misalnya larangan memaki, mencuri, serta memperkosa perempuan komunitas lawan yang diserang.

Minggu, 12 Juni 2011

photo para korban akibat buruknya pengetahuan tentang PANCASILA








PERIODISASI KONFLIK DI DAERAH POSO-MOROWALI

Gangguan keamanan di wilayah yang di akhir 1998 masih termasuk satu kabupaten (Poso) ini, sesungguhnya harus dibagi dalam tiga periode, yang ditandai oleh jenis gangguan keamanan yang tidak seluruhnya sama. Periode pertama, antara pecahnya kerusuhan di kota Poso tanggal 28 Desember 1998 s/d ‘gencatan senjata’ melalui pertemuan di Malino, Sulawesi Selatan, tanggal 20 Desember 2001. Periode kedua adalah periode pasca Pertemuan Malino s/d gelombang penyerangan terhadap Desa Beteleme di Kabupaten Morowali dan tiga desa di Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso antara tanggal 10 dan 12 Oktober 2003. Sedangkan periode ketiga, pasca penyerangan terhadap Desa Beteleme sampai saat makalah ini ditulis.
1.Periode I: 25-28 Desember 1998 s/d Pertemuan Malino, 20- 21 Desember 2001:
Konflik antar komunitas ini sering diberi label sederhana, yakni “konflik agama”, dengan mengacu pada satu karakteristik dari komunitas-komunitas yang bertikai. Memang, pada awalnya konflik ini tercetus oleh perkelahian di antara dua orang pemuda yang berbeda agama, kemudian berkembang menjadi perkelahian di antara komunitas kampung-kampung Muslim dan Kristen, di mana selama gelombang kerusuhan pertama (Desember 1998) dan kedua (April 1998), terutama kelurahan-kelurahan Kristen di kota Poso menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran, dibarengi dengan gelombang pengungsian penduduk Kristen dari kota Poso ke kota-kota Tentena (di Kabupaten Poso sebelah selatan), Palu, dan Bitung serta Manado (Sulawesi Utara).Dalam saling menyerang antara komunitas Kristen dan Muslim di kota Poso itu, masing-masing fihak didukung oleh massa seiman dari luar kota Poso. Komunitas Muslim dibantu oleh orang-orang Tojo dari daerah Ampana (sebelah timur kota Poso; sekarang jadi ibukota Kabupaten Tojo Una-una) dan Parigi (Kabupaten Parigi Moutong, sebelah barat kabupaten Poso). Sementara komunitas Kristen dibantu oleh orang-orang Lage dari Desa-Desa Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage (sebelah tenggara kota Poso). Selanjutnya, sejak bulan Mei 2000 mulai berlangsung serangan-serangan balasan dari milisi Kristen yang terbentuk dari kalangan pengungsi Kristen di Tentena, yang terutama dipimpin oleh tokoh-tokoh yang berasal dari kelompok Ondae di Kecamatan Pamona Timur. Kelompok sub-etnis Pamona ini adalah yang paling akhir memeluk agama Kristen, dan masih punya budaya perang – dan mengayau – yang baru satu generasi tertekan ke bawah permukaan.Serangan balasan milisi pimpinan tokoh-tokoh masyarakat Ondae ini dibantu oleh relawan dari Lembah Napu (Kecamatan Lore Utara), yang tersinggung oleh pelanggaran adat yang dilakukan oleh orang-orang Parigi yang melintasi wilayah kekuasaan orang Napu di Poso Pesisir ketika membantu serangan komunitas Muslim di kota Poso. Selain itu, ada juga dukun-dukun dari suku Da’a (Kabupaten Donggala, Sulteng) dan Toraja (Sulsel) yang ikut membantu milisi Ondae dan Napu, termotivasi oleh semangat ‘membantu saudara seiman’, sama seperti motivasi orang Tojo dan Parigi membantu komunitas Muslim di kota Poso.
Ternyata, serangan balasan milisi-milisi suku-suku asli yang dominan Kristen ke kota Poso, kecamatan Lage dan kecamatan Poso Pesisir, yang semula dimaksudkan hanya untuk menangkap para provokator kerusuhan Poso gelombang I dan II, berkembang menjadi penghancuran kampung-kampung yang mayoritas berpenduduk Muslim di Kecamatan Lage dan Poso Pesisir. Ini terjadi setelah gugurnya Ir. Adven Lateka, pejabat asal Ondae yang memimpin serangan pertama yang gagal menangkap dan menculik para provokator, dan setelah kelompok-kelompok milisi penduduk asli yang mulai bermunculan secara spontan mendapat pengarahan dari seorang pensiunan militer asal Toraja, Tungkanan.
bersambung.....