Kamis, 19 Mei 2011

Eksplorasi pendekatan tentang hubungan agama dengan perubahan sosial

.......lanjutan(next page 1).......

Karena titik temu agama – agama yang selama ini didengungkan melalui wacana teologi, atau lebih dari itu melalui semacan etika, moralitas agama yang dikandung, maka buku ini merupakan eksplorasi serius ‘kesatuan’ agama – agama melalui sejarah yang otentik dan mudah dilacak. Mengutip Kitab Suci masing-masing malah semakin menunjukan otentisitas ‘kesatuan’ agama itu. Kesan yang dapat ditangkap, polarisasi menjadi tiga agama adalah persoalan interpretasi dibalik struktur sosial yang mendasarinya.
Ketika Karen Amstrong mengeksplorasi bagian “Kematian Tuhan” menuliskan,
“Kaum muslim tidak mempunyai banyak waktu atau energi untuk mengembangkan pemahaman tradisional mereka tentang Tuhan. Mereka sibuk dalam upaya mengejar ketertinggalan dari Barat…. Di Barat, “Tuhan” dipandang sebagai suara keterasingan; di dunia islam suara tersebut berasal dari proses kolonial Karena tercerabut dari akar budaya sendiri, orang – orang merasa kehilangan arah dan putus asa. Sebagian pembaharu Muslim berupaya mempercepat langkah kemajuan dengan cara paksa meletakkan islam pada posisi minor”.[6]
Tesis yang dikembangkan Keren Amstrong tersebut mensejajarkan agama dengan ide, filsafat, seni, hukum dan ideologi berada pada posisi super struktur dari infrastruktur material. Secara substantif tesis ini bukan baru, bahkan jauh melampaui masa kelahiran Karl Marx (1818), tesis itu diintrodusir ilmuwan muslim kelahiran Tunisia, Ibn Khaldun (1332–1406). Khaldun meneliti pengaruh lingkungan fisik terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial primitif dan modern, hubungan antar kelompok dan berbagai fenomena kultural (kesenian, kerajinan, ilmu pengetahuan, solidaritas atau kohesi sosial).[7] Sungguhpun demikian dalam sejarah khasanah intelektual islam tesis semacam ini dipersoalkan sebagai sebuah masalah teologik, bukan sebuah persoalan keilmuan yang positiv dalam matra epistemologik atau metodologik. Sehingga aktifitas keilmuan yang bertumpu pada metode induktif di kalangan muslim terhenti karena studi empirik (induktif) yang lahir dari pendekatan Ibn Khaldun dihampiri secara deduktif-teologik.[8] Kritik terhadap perspektif Khaldunian[9] secara keilmuan (bukan bentuk kritik teologiknya) sulit ditemui dikalangan ilmuwan muslim. Kritik yang relefan hanya dapat ditemukan ditemukan pada perspektif idealistik yang bermuara dari pandangan Alfred North Whitehead yang menyatakan “ide umum selalu mengancam tatanan yang ada”. Kemudian Auguste Comte, Frederich Hegel dan kajian induktif secara monumental bermuara pada Max Weber dalam studinya mengenai hubungan agama dengan perkembangan ekonomi.
“Perang dingin” teologi di kalangan muslim terjadi dalam merespon implikasi perspektif. Perspektif materialism menempatkan agama hanya sebagai bagian dari ragam institusi yang ada di dalam masyarakat dan ‘berlokasi’ diujung mata rantai ketika terjadi perubahan sosial. Ilyas Ba.Yunus[10], sosiolog dari The State University, New York mengkritik tajam pendekatan yang disebutnya sebagai bias Barat ini dari ranah epistemologis. Bahwa kesalahan besar pandangan ini adalah menempatkan agama sebagai segmen atau bagian kecil saja dari masyarakat. Tangkisan untuk menolak tesis mengenai agama sebagai supra-struktur dari infrastruktur material adalah bahwa tesis tersebut hanya belaku pada pengalaman sejarah Barat – Kristen. Unsur pengalaman Barat seperti sekularisme[11], pemisahan agama dari kehidupan publik tidak terjadi dalam masyarakat muslim.
Kemudian sekularisme seperti sontak tiba – tiba menjadi tema utama yang menantang sejak proses perubahan struktural di masyarakat dunia ketiga pada tahun 60-an. Pergeseran struktural sebagai sebuah data empirik ke arah defferensiasi struktural yang gelagatnya menyamai sistim sosial Barat sulit diingkari sebagai sebuah kenyataan. Meminjam istilah Anthony Giddens gerak itu ibarat Jugernout, truk besar yang melaju tak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar