Sabtu, 21 Mei 2011

Eksplorasi pendekatan tentang hubungan agama dengan perubahan sosial

........sambungan(next page 2)..........

Tesis yang menempatkan agama sebagai suprastruktur sama dengan penonjolan sisi antroposentris dibandingkan sisi teosentrisnya. Term antroposentris difahami bahwa agama kemanfaatannya selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan. Human (sisi kemanusiaan) sebagai dasar segala aktifitas, maka spiritual maupun ritus akan selalu disandarkan dalam konteks kemanusiaan. Sisi humanitarian ini ‘kehadirannya’ hanya dapat wujud pada aktualisasi interaksi sosial. Sementara sisi teosentris memandang Tuhan diatas segalanya; ‘ketundukan’ manusia adalah dalam rangka ketundukan itu sendiri tanpa harus dimengerti sebagai prosesi imanensi.
Agama bagaimanapun (selalu) menampilkan dua sisi tersebut (antroposentris dan teosentris). Pada masyarakat islam, kita dapati bagaimana ummat memperlakukan (tafsir) Al Qur’an; posisi antroposentris (humanetarian?) ketika memandang Al Qur’an yang kehadirnya semata mata sebagai petunjuk manusia maka berpendapat tidak ada ayat yang begitu saja ‘tersembunyi’ tanpa dimaknai dalam konteks interaksi antar manusia. Walaupun perlu catatan khusus perbedaan keberlakuan tesis ini pada komunitas Islam Suni dan Islam Syiah. Dikalangan Suni pembaharuan pemikiran islam terasa lebih progresiv, barangkali watak teologinya yang ‘meminimalkan’ perlunya kema’suman keturunan. Ini maknanya kalangan Suni akan lebih adaptif terhadap gagasan demokrasi. Dengan demikian dalam Suni doktrin otoritas atas tafsir rawan sekali goyah, dalam pengertian ini doktrin Suni lebih bernuansa antroposentris dibandingkan dengan sahabatnya kalangan Syiah.
Fenomena Ulil Abshar Abdalla, misalnya, bukanlah pemandangan baru (dalam Suni), dimana involvement “orang kebanyakan” dalam pemikiran agama kemudian berimplikasi pada semacam gugatan terhadap sistem otoritas ulama. Din Syamsuddin, ketua Muhammadiyah mengomentari kiprah Ulil sebagai dekonstruksi agama (islam) tanpa rekonstruksi. Hemat saya, pada tataran sosiologis, dekonstruksi pemikiran islam yang dilakukan Ulil sekaligus menampilkan tawaran[12] (re)-konstruksi pada tataran sistem otoritas agama. Nuansa pesan sosiologis ini pernah diperkenalkan oleh Abdul Munir Mulkhan, sosiolog agama dari Yogyakarta pada dua tahun sebelum kasus Ulil populer dalam kolomnya di Dwi Mingguan Gatra, 23 September 2000. Ia menulis dengan tajuk “Islam Bagi Semua”;
Seorang muslim, pemeluk agama lain atau ateispun terbuka untuk mengapresiasi, memahami dan mengamalkan ajaran islam, terutama ajaran hubungan sosial. Hal ini juga tidak mesti dilakukan dengan membaca atau menafsisr ayat – ayat Al Qur’an dan sunah, melainkan bisa juga dari wahyu model kedua atau sumber kedua.
Jauh lebih mendasar gugatan terhadap sistem otoritas agama itu ditujukan terhadap syarat – syarat menafsir ‘kebenaran’ agama yang disusun ulama dalam ilmu syariah, tafsir dan tauhid, 10 abad yang lalu. Seperti ungkapan Mulkhan berikut:
…pernyataan bahwa hanya orang islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Qur’an bertentangan dengan misi penyebaran kebenaran Al-Qur’an dan maksud penurunannya sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Qur’an hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elit yang Arabis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar